Hubungi Kami

|| || || Leave a comments
Karawang Bisnis
Dani Kusmayadi
083819884374 / 08815801755 
kusmayadi.dani@gmail.com

Sekolah Tinggi Perikanan Pertama di Indonesia ada di Karawang

|| || || Leave a comments
Karawang Bisnis, Sebagai warga Karawang patut bangga karena di Karawang akan dibangun Sekolah Tinggi Perikanan yang merupakan Sekolah Tinggi Perikanan yang pertama dan terbesar di Indonesia.
Selain itu juga dengan pembangunan sekolah tinggi perikanan tersebut maka bertambah juga satu lagi pilihan sekolah tinggi yang bersifat kejuruan yang dapat menjadi pilihan alternatif bagi putra putri kita dalam melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi.
Seperti kita ketahui pada saat ini lebih banyak sekolah tinggi yang bersifat umum sehingga mengakibatkan tingginya tingkat persaingan dalam mencari pekerjaan, hal tersebut dikarenakan jumlah lulusan akademis yang tidak seimbang dengan jumlah penyerapan tenaga kerja.

Rencana pembangunan sekolah tinggi perikanan tersebut disampaikan Bupati Ade Swara saat meresmikan bantuan ruang kelas baru dari PT. Pertamina EP Region Jawa di Kec. Cilamaya Wetan, Rabu (20/4).
Menurut Bupati, sekolah tinggi / universitas tersebut akan menjadi sekolah tinggi perikanan yang terbesar dan satu-satunya yang ada di Indonesia. Keberadaan sekolah tinggi tersebut akan menampung sebanyak 5 ribu mahasiswa, dengan menggunakan system boarding school (asrama). “Sekolah tinggi ini merupakan bentuk perhatian serius pemerintah daerah terhadap pendidikan dan potensi daerah yang ada di Kab. Karawang,” imbuhnya.
berdasarkan data dari Dinas Perikanan Kelautan dan Peternakan, Kab. Karawang memiliki potensi sektor perikanan kelautan yang cukup tinggi. Potensi tersebut antara lain potensi perikanan tangkap berupa panjang pantai 84,23 km, panjang sungai 744 km, rawa 20 hektar, dan bekas galian C seluas 282,3 hektar. Sedangkan untuk potensi perikanan budidaya meliputi tambak 18.273,3 hektar, kolam 980 hektar, Mina Padi 11.851,5 hektar, dan kolam jarring apung (KJA) 86 unit.
Di sisi lain perkembangan produksi perikanan di Kab. Karawang pun menunjukkan perkembangan yang terus meningkat. Untuk tahun 2009, produksi perkianan budidaya berupa tambak mencapai 35.005 ton, kolam 2.221 ton, mina padi 671 ton, dan KJA 164,98 ton. Sedangkan untuk produksi perikanan tangkap dari laut mencapai 7.590 ton, sungai 163,41 ton, rawa 83,3 ton, dan bekas galian C mencapai 103,8 ton.
Dari sisi kependudukan, Kab. Karawang memiliki jumlah rumah tangga produksi (RTP) perikanan tangkap (nelayan) sebanyak 2.862 RTP, yang terdiri dari laut 1.003 RTP, sungai 1.116 RTP, rawa 93 RTP, dan bekas galian C sebanyak 650 RTP. Sedangkan untuk perikanan budidaya (pembudidaya ikan) terdapat 8.373 RTP yang terdiri dari tambak 3.528 RTP, kolam 4.428 RTP, mina padi 373 RTP, dan KJA 44 RTP.

Saya (penulis) berharap dimasa yang akan datang dengan dibangunnya sekolah tinggi perikanan di karawang ini dapat melahirkan para usahawan usahawan muda yang dapat menambah jumlah lapangan kerja untuk menyerap tenaga kerja sehingga keseimbangan antara lapangan kerja dan jumlah tenaga kerja dapat tercapai.
|| || || 2 comments

Lemahnya informasi pasar menjadi permasalahan UKM di Karawang

|| || || Leave a comments
Dani Kusmayadi @ Karawang Bisnis

KARAWANG: Minimnya pengetahuan dan informasi pasar para pelaku industri kecil menengah di Kabupaten Karawang, menjadi salah satu kelemahan industri kecil menengah, kata Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Pertambangan dan Energi setempat, Hanafi, 
“Itu hanya salah satu kendala, masih ada permasalahan atau kelemahan IKM lainnya yang cukup menghambat pengembangan IKM (industri kecil menengah) di Karawang,” kata Hanafi, di Karawang.
Dikatakannya, permasalahan lain yang menjadi kendala dalam mengembangkan IKM di Karawang ialah rendahnya jiwa kewirausahaan para pelaku IKM dan aksebilitas terhadap sumber permodalan yang masih rendah.
Para pelaku IKM di Karawang, kata dia, juga belum mampu menjalin kemitraan secara baik kepada industri besar, serta pelaku IKM yang belum mampu menyediakan produk yang berkualitas.
“Akibat permasalahan atau kelemahan itu, maka produk-produk IKM di Karawang belum memiliki daya saing di pasaran,”
Sebagai salah satu pengembangan IKM, dibangunlah rumah kemasan dan sentralisasi kegiatan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Karawang di gedung pusat promosi dan informasi produk lokal Karawang.
Kepala Bidang Promosi Dekranasda Jawa Barat, Bismark, di Karawang, Rabu (13/4), mengatakan, kabupaten/kota di Jawa Barat tidak seluruhnya memiliki gedung pusat promosi dan informasi produk lokal daerah setempat serta memiliki rumah kemasan sendiri.
“Hanya empat daerah yang memiliki rumah kemasan, yakni di Cirebon, Garut, Bogor dan Karawang. Untuk daerah lainnya, diupayakan akan memiliki pula, dan saat ini masih dalam proses pengajuan,”

Sehubungan dengan permasalahan lemahnya pemasaran produk IKM di Karawang saya (penulis) secara pribadi ingin mengajak kepada masyarakat Karawang khususnya pelaku bisnis untuk dapat berperan dalam memasarkan produk produk hasil IKM di Karawang, dan bagi para konsumen saya harapkan dapat menerima atau mengkonsumsi produk produk hasil IKM dari Karawang, sehingga diharapkan dengan meningkatnya omset penjualan maka para pelaku IKM juga dapat melakukan penambahan investasi untuk memperbaiki qualitas maupun kuantitas dari produk yang mereka hasilkan, sehingga kedepannya hasil produk dari para IKM di Karawang dapat bersaing dengan produk produk luar kota maupun luar negeri.

Misa Suwarsa : "Jurig Supa" dari Karawang

|| || || 2 comments
Lahir : Depok, Jawa Barat, 9 April 1959

Istri : Yani Sumarni (38)

Anak : Muhamad Hidayatulah (16); Siti Nurjanah (7)

Pendidikan :

- SD, SMP, SMA di Depok

- S-1 Kimia Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta

- S-2 Kimia Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB)

- S-3 Universitas Sorbonne, Perancis dan ITB

- Belajar jamur di Universitas Shanghai, 2004

Pekerjaan :

- Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Jamur Merang, Kelompok Tani Jamur Prima, Desa

Mekar jati, Kecamatan Karawang Barat, Karawang, Jabar




Misa Suwarsa, praktisi mikrobiologi yang juga petani jamur merang di Desa Mekarjati, Kabupaten karawang, Jawa Barat, berhasil menciptakan bibit jamur merang sendiri. Kini dia dikenal sebagai ahli "supa" alias jamur.

OLEH DEDI MUHTADI

Misa seperti menjalani konsep Restorasi Meiji, manabu (belajar), maneru (meniru), dan nusumu (mencuri) ilmu pengetahuan dan teknologi. Doktor teknik kimia Institut Teknologi Bandung (1985) ini berhasil menciptakan bibit jamur merang sendiri. Setelah 30 tahun dia mengembangkan bibit itu, kini mantan pegawai badan Tenaga Nuklir Nasional itu berhasil menjadi jurig supa (bahasa Sunda) atau hantu jamur. Misa dianggap sebagai ahli atau tukang jamur.
Selain pernah dikucilkan keluarga, ia juga dikucilkan almamater akibat tindakan "restorasinya" dari ranah intelektual akademis ke pematang sawah. "Ijazah S-3 hingga kini belum pernah saya pegang karena harus ditebus Rp.200 juta. Saya tidak mau..........," ujarnya.
Kisahnya dimulai tahun 1989-an ketika ia memutuskan keluar dari pengajar di ITB dan beralih menjadi petani jamur. "Saat itu gaji saya sudah Rp.1.920 juta, ketika (nilai satu) dollar AS masih Rp.1.500,"kenangnya.
Keputusan itu mengundang kemarahan orangtuanya,ia lalu diusir dari keluarganya di Depok. hanya dengan bekal Rp.10.000, ia pun harus meninggalkan keluarga besarnya. "Itu uang dari ibu saya," katanya.
Misa dianggap intelektual dungu. Dengan bekal uang dan baju seadanya, ia pergi ke Karawang. Daerah lumbung padi ini merupakan kawasan potensial budidaya jamur merang.
Setibanya di Karawang, Misa langsung mencari kubung, bekas budidaya jamur yang sudah tidak dipakai di Tanjungpura, perbatasan Karawang-Bekasi. Dia berjalan kaki berkilo-kilo meter menyusuri irigasi mencari pemilik kubung untuk meminjamnya.
Hari sudah malam setiba di dekat kubung. "Saya tidur di kandang kambing karena petani ini anaknya 12 orang," kenangnya.
Petani miskin yang ditemuinya itu tertarik dengan cerita Misa soal budidaya jamur, tetapi tidak punya modal untuk membudidayakannya. Sementara empat kubung yang tersedia di sana harus disewa Rp.200.000 per kubung.
Misa pun kemudian meminjam uang "monyet" (pinjaman rentenir) . Jika pinjam Rp.200.000, harus kembali Rp.300.000 dalam sebulan.
Mereka butuh modal Rp.600.000 untuk media tanam, yakni jerami dan kapas. uang yang tersedia adalah uang "setan" atau "uang iblis".
Warga desa menyebut uang pinjaman itu demikian karena pengembalian uang panas itu amat menjerat. Jika pinjam Rp.600.000, harus kembali Rp.1,2 juta dalam sebulan.
Misa benar-benar dipersimpangan jalan. Yang bisa dia lakukan hanya shalat tahajud (shalat malam) selama tiga malam. Tuhan pun memberikan jalan untuk melangkah. Dia mendapat pinjaman tanpa agunan.
Dia memperbaiki kubung dengan mengangkut jerami sendiri dari sawah. Daun kelapa untuk biliknya dia ambil dengan memanjat pohon sendiri. "Badan saya lecet-lecet," ceritanya.
Singkat kata, delapan hari kemudian, bibit jamur yang dia buat sendiri tumbuh dengan baik dan dijual di pasar Cikampek, Karawang, dengan harga total Rp.1,45 juta.
Dia mengembalikan pinjaman Rp.1,2 juta sesuai perjanjian tertulis diatas segel. "Uang tersisa hanya Rp.250.000," ujarnya. Namun, setelah itu pemilik tanah kubung tidak mengizinkan lagi Misa menanam jamur.
Misa akhirnya bertemu dengan pemilik kubung bekas sopir Kedutaan Besar Amerika Serikat. Pemilik kubung itu memang menyerahkan pengelolaan, tetapi tidak meminjamkan modalnya.
Misa kembali kepada rentenir. Tetapi, kali ini hanya ada uang "jalan". Itu sebutan uang pinjaman yang harus dikembalikan secepat mungkin. Jika meminjam Rp.300.000, harus kembali Rp.600.000 dalam delapan hari!
Tanpa berpikir panjang, ia modali empat kubung. Delapan hari kemudian, Misa mampu mengembalikan modalnya kepada tukang pukul yang menagihnya. Dari satu kubung, pinjaman itu lunas selama delapan hari. Tiga kubung lainnya mampu menghasilkan 1 ton jamur merang.
Empat bulan kemudian, dia berhasil membeli empat kubung bersama 1.500 meter lahanya di Tanjungpura, Karawang.

Dibakar warga

Misa memulai kehidupan baru usaha pembibitan dan budidaya jamur merang di tempat itu. Dari empat kubung terus dikembangkan menjadi 12 kubung, dan hasilnya puluhan juta rupiah.
Misa lalu membeli 1 hektar sawah senilai Rp.50 juta tahun 1991 untuk memproduksi jerami. Karena tinggal di lingkungan petani miskin, perkembangan usaha Misa yang sangat cepat itu menimbulkan kecemburuan.
"Kami sudah berpuluh-puluh tahun menanam padi tetap miskin, tapi si jurig supa hanya beberapa bulan sudah kaya raya," kenang Misa menirukan umpatan warga. Mereka pun ramai-ramai membakar kubung-kubung jamur Misa.
"Hati saya hancur saat melihat kepulan asap keluar dari sisa-sisa pembakaran kubung," kata Misa. Ia pun stres dan hampir frustasi menerima peristiwa pada pertengahan tahun 1992 itu. Namun, ia segera bangkit, membangun 30 kubung baru senilai Rp.35 juta dengan uangnya yang tersimpan di dalam drum selama usahanya berbulan-bulan.
Usahanya berkembang pesat karena dibantu puluhan tenaga kerja. Seiring berjalannya waktu, Misa membuka pelatihan magang bagi para calon wira usaha melalui Pusat Pendidikan dan Latihan Jamur Merang Kelompok Tani Jamur Prima, Karawang.
Misa bercerita mendapat ilmu "perjamuran" itu semasa masih mengajar di ITB, tinggal di Dago bandung Utara. Saat itu dia bertetangga dengan Prof Han, guru besar yang saat itu menjadi dosen tamu mikrobiologi di ITB
Suatu saat, profesor itu harus segera pulang ke negerinya, Jerman. Dia menitipkan buku-buku miliknya yang tak sempat dibawa pulang ke negerinya kepada Misa. "Saya percayakan kepada kamu. Buku-buku ini jangan ssampai keluar karena bersama 40 profesor lain kami sudah disumpah untuk tidak keluar ke negara lain," ujar Prof Han.
Dasar "tukang insinyur sableng", sesudah guru besar pergi, ia melakukan nusumu, mempelajari buku-buku mikrobiologi itu. "Ternyata bahasanya China ssehingga saya harus minta bantuan seorang teman menerjemahkan," kata Misa.
Dari situlah Misa nekat hengkang dari ITB dan menjadi jurig supa hingga sekarang. Dari pusat pendidikannya, kini sudah ratusan orang menjadi pembudidaya jamur diseantero Nusantara.

Dikutip dari KOMPAS, (KAMIS, 10 FEBRUARI 2011)

Karawang-ku lumbung padi-ku

|| || || Leave a comments
Oleh : Dani Kusmayadi @ www.karawangbisnis.co.cc

Karawang ku Lumbung Padi ku... Masihkah..?
Setelah sebagian lahan pertanian disulap menjadi kawasan industri dan perumahan yang bukan saja mengurangi luas lahan pertanian tetapi juga menambah jumlah polusi dan pencemaran yang sangat berpengaruh kepada hasil produksi padi di karawang.
Akan tetapi setidaknya itulah pelajaran yang pernah saya terima sewaktu dulu dibangku Sekolah Dasar.
Setidaknya Karawang ku PERNAH terkenal di negeri ini, Mungkinkah predikat LUMBUNG PADI itu kembali bisa kita raih..?

Tantangan produksi surplus 10 juta ton per tahun dari Presiden SBY 


Presiden SBY mengemukakan keinginannya untuk mencapai target surplus beras 10 juta ton pertahun pada saat penutupan Rapat Kerja Pemerintah Pusat dan Daerah di istana Bogor pada hari selasa (22/2)
Presiden bukan hanya mengemukakan keinginannya saja, tetapi SBY pun mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres)No.5 tahun 2011 tentang pengamanan produksi beras nasional dalam menghadapi kondisi iklim ekstrim per tanggal 02 Maret 2011.
Tak kurang dari 18 pejabat tinggi negara dan lembaga terkait di instruksikan untuk menyukseskan program surplus 10 juta ton per tahun itu.

Menggapai Impian Para Petani
Terdengar secara sepintas seakan keinginan itu hanya tinggal mimpi bagi para petani di karawang, dikarenakan hasil panen per hektar pada saat ini hanya bisa mencapai maksimal sekitar 7.0 ton per hektar, belum lagi masalah berkurangnya areal pertanian yang dikarenakan sebagian sudah beralih fungsi menjadi areal industri.
Akan tetapi tidak ada hal yang tidak mungkin jika kita memiliki keinginan yang kuat disertai dengan kerja keras, setidaknya itulah yang di yakini oleh Yoskar Lim atau lebih akrab di kenal dengan nama Ko Ameng
Seorang pengusaha sembako di karawang mampu membuat suatu terobosan dengan membuat inovasi dalam meningkatkan hasil panen padi
dengan membuat sebuah produk pupuk hayati yang di beri nama SOLBI AGRO dan juga memproduksi benih padi dengan Merk Mekongga.
 " Dengan tekhnologi budidaya yang kami kuasai ditambah aplikasi pembedah tanah dan pupuk hayati Solbi agro kami yakin bisa panen 10 ton per hektar " jelas Yoskar Lim, Sales & Marketing CV Buana Sakti, produsen Solbi agro dan benih padi varietas unggul. dan dia semakin yakin setelah menggandeng Bayer CorpScience Indonesia, perusahaan Pestisida untuk melakukan pengendalian hama dan penyakit
Program panen 10 ton per hektar itu telah ia laksanakan beberapa waktu yang lalu tepatnya di Dusun Tunggak Jati, Desa Talang Sari, Kecamatan Rengas Dengkok, Kabupaten Karawang.
Tidak hanya di Karawang Produk Solbi juga sudah di coba di berbagai daerah dan dapat diterpkan pada beberapa jenis tanaman pangan diantaranya pada Jagung, Pare, Timun, Kacang dll.

Semoga untuk kedepannya semua petani khusunya di Karawang dapat mengadopsi sistem pertanian SOLBI AGRO tersebut dan dapat mengembalikan predikat lumbung padi nasional ke ranah Karawang.